'); /* http://gubhugreyot.blogspot.com * Agst, 17, 2012 - jQtooltip no-class */ -->

Jumat, 07 September 2012

Rahasia Terbesar Bani Jawi (Bangsa Melayu/Nusantara)


PENELITIAN TENTANG NOVEL HARIMAU! HARIMAU!

1. PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah
Mochtar Lubis merupakan salah seorang pengarang terkenal Indonesia. Banyak
karya yang telah dihasilkannya, baik berupa novel, cerita pendek, cerita
anak-anak, maupun yang lainnya.
Salah satu novelnya berjudul Harimau! Harimau!(1975) selanjutnya disingkat
HH). Novel ini banyak dibicarakan pengamat sastra, baik dalam bentuk artikel di
koran-koran dan magalah maupun dalam bentuk penelitian. Penelitian pernah
diakukan oleh Netty Lindrawaty(1982) dan Soedjiono(1985).
Kedua hasil penelitian terdahulu dianggap belum cukup memberitakan hasil
yang memuaskan. Lindrawaty hanya meneliti aspek teknik bercerita, sedangkan
Soedjiono menekankan aspek ketegangan. Kedua aspek yang diteliti dalam
penelitian tersebut hanya sebagian kecil dari sejumlah aspek struktur karya
sastra. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemhaman makna novel HH secara
utuh harus dilakukan analisis terhadap seluruh aspek struktur yang
membentuknya.
1.2 Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah struktur novel HH dan
makna apakah yang terkandung di dalamnya.
1.3 Tinjauan Pustaka
Banyak pengamat sastra yang telah memberi komentar terhadap HH. Namun,
komentar-komentar mereka masih bersifat inpresionistik. Sumardjo(1975:v)
mengatakan novel ini sebenarnya novel yang sederhana, tetapi Mochtar Lubis
1)* Senior Research Fellow, Center for International Area Studies
Hankuk University of Foreign Studies
berhasil mengolahnya dalam tema dalam politik yang berhasil. Dikatakannya HH
tidak mungkin menjadi novel yang penting dalam kesusastraan Indonesia, tetapi
bukan pula sebagai novel yang gagal(1979).
Dalam pada itu, Hazil Tanzil(1976) menyoroti soal moral novel tersebut yang
menurut pendapatnay baik. Sebaliknya, bagi Teeuw(1989), ajaran moral yang
hendak disampaikan terlalu diveri tekanan yang berlebihan. Pemaksaan untuk
menyampaikan pesan moral itualh yang menyebabkan nilai novel ini berkurang.
Usaha yang konprehensif di dalam menganalisis novel ini dilakukan oleh
Soedjiono dengan judul Harimau-Harimau Karya Mochtar Lubis(1985). Penelitian
ini mengkhususkan perhatian pada struktur dengan menggunakan teori
strukturalisme Roland Barthes yang menekankan aspek naratif. Soedjiono
melakukan perhitungan statistik terhadap satuan makna yang diperolehnya. Hasil
perhitungannya menunjukkan bahwa unsur aksion(kode yang mengandung
ketegangan) menduduki tempat yang tinggi(64, 50%). Kesimpulannya, HH
merupakan novel yang berhasil.
Penelitian ini memiliki kelemahan, yaitu hanya menekankan unsur
ketegangan. Padahal, cerita yang menarik tidak hanya ditentukan oleh unsur
ketegangan, tetapi juga oleh unsur-unsur lainnya. Lagi pula, seperti pendapat
Pradopo(1989:684), "dapatkan secara statistik ditentukan nilai-nilai sastra itu secara
pasti dan logis."
1.4 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam analisis ini adalah teori struktural dan
semiotik.
Scholes(1977:10) merumuskan strukturalisme dalam pengertian yang luas.
Menurut dia, strukturalisme berusaha membangun suatu model sistem sastra itu
sendiri sebagai acuan eksternal dari karya-karya individual. Dalam pada itu
Abrams(1981:188) menyatakan bahwa strukturalisme menganggap
fenomena-fenomena kultural, aktivitas, dan produk kebudayaan sebagai sebuah
lembaga sosial, sistem penandaan yang terbangun dari sebuah struktur yang
memenuhi dirinya sendiri. Adapun Piaget(dalam Hawkes, 1978:16) menyatakan
bahwa pada prinsipnya struktur merupakan jalinan dari berbagai unsur yang
dilandasi oleh tiga ide dasar: wholeness, transformation, dan self-regulation.
Analisis dalam tulisan ini menggunakan rumusan Piaget di atas.
Perlu diingat bahwa analisis yang menekankan pada struktur formal
semata-mata memiliki dua kelemahan. Untuk menutupi kelemahan ini,
penggunaan strukturalisme digabung dengan teori semiotik. Penggabungan ini
didasari atas kenyataan bahwa karya sastra sebagai suatu "tanda" tidak dapat
PENELITIAN TENTANG NOVEL HARIMAU! HARIMAU! 3
difahami sepenuhnya bila tidak dekaitkan dengan unsur-unsur lainnya(Teeuw,
1988). Selain itu, srtukturalisme dan semiotik merupakan dua teori yang saling
berdekatan (Fokkema dan Kunne-Ibsch,1977), bahkan dapat dikatakan bahwa
semiotik merupakan perkembangan dari strukturalisme(Junus, 1981). Seperti juga
dikatakan Barthes(dalam Martin, 1986) bila strukturalisme berhasil pada
discourse maka untuk seterusnya semiotiklah yang dapat berperan menafsirkan
karya sastra.
Sebeok(1978) merumuskan semiotik sebagai suatu ilmu yang menyelidiki
seluruh bentuk komunikasi sejauh komunikasi itu ditempatkan dalam sistem
tanda. Dalam hal ini, peran pembaca menjadi penting karena jadi realitas
semiotik(Mukarovsky dalam Teeuw, 1988). Dalam bahasa Lotman, bahasa yang
merupakan sistem tanda tingkat pertama harus diinterpretasi untuk mendapatkan
makna sastra yang terdapat dalam sistem tanda tingkat kedua. Menurut
Riffaterre(1978), arti bahasa tingkat pertama disebut meaning dan arti bahasa
pada tingkat kedua disebut significance.
1.5 Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode struktural. metode ini bertujuan
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semerenik dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Jadi, dengan metode ini akan
dilihat semua unsur pembentuk struktur novel HH dan menganalisisnya dalam
kaitan keutuhan dan keseluruhannya sebagai suatu struktur.
2. ANALISIS STRUKTURAL
Dalam bagian ini dibicarakan (1) tema, (2) fakta-fakta cerita, dan (3)
alat-alat penceritaan. Butir (2) mencakup tokoh, alur, dan latar; butir (3)
mencakap sudut pandang, bahasa dan gaya bahasa, simbol, dan teknik
penceritaan.
2.1 Tema
Tema merupakan tujuan utama cerita (Hutajalung, 1967:77; Oemarjati,
1962:54). Sebagai tujuan utama, ia terlihat dalam keseluruhan karya tang
didasari oleh sejumlah masalah.
Masalah-masalah yang terlihat dalam HH, antara lain berkaitan dengan
kehidupan alam pedesaan tradisional. Dalam alam seperti ini, kepercayaan
kepada jimat, ramalan, dan tujum lewat garis telapak tangan masih kuat. Hal-hal
ini digunakan pengarang untuk menggerakkan ceritanya. Hal itu terlihat ketika
Pak Balam diterkam harimau, ia mengaitkan terkaman itu dengan
mimpinya(HH:88-89). Selain itu, dia pun percaya bahwa harimau siluman itu
dikirim Tuhan karena dosa yang pernah dibuatnya di masa lalu bersama Wak
Katok. Oleh karena itu pula, maka Pak Balam meminta agar seluruh anggota
pencari damar mengakui dosanya satu persatu.
Ajakan Pak Balam itu menyakitkan hati Wak Katok. Wak Katok merasa
tiba-tiba mulai mencair ketika Talib dan Sutan juga diterkam harimau. Adapun
Wak Katok, yang selama ini selalu menceritakan kejagoannya sendiri tidak
berhasil membunuh harimau ketika binatang itu sudah di depan mereka(HH:194).
Pada saat itu, Wak Katok terlihat sangat ketakutan.
Ketidakberhasilan Wak Katok membunuh harimau ditambah lagi dengan
sikapnya yang hendak mencelakakan anggota pencari damar lainnya, membuat
Buyung berubah sikap. Dalam pandangannya Wak Katok bukanlah pemimpin yang
benar. Dia merupakan pemimpin palsu yang mencari kesempatan dalam
kesempitan. perbuatannya membunuh temannya sendiri di masa perguangan
melawan Belanda, memperkosa Siti Rubiyah, dna selalu menceritakan kehebatan
diri sendiri, sebenarnya merupakan usaha untuk meutupi kebobrokannya. Wak
Katok adalah tipe orang yang tidak jujur pada dirinya sendiri.
Soal kejujuran, bersih hati, kepemimpian yang benar adalah
masalah-masalah yang menduduki tempat penting dalam novel HH. Dalam hal ini,
yang menjadi sorotan utama adalah tokoh Wak Katok.
Adapun Buyung, tokoh muda, yang melihat kepemimpian Wak Katok adalah
kepemimpinan yang palsu, akhirnya--bersama-sama Pak Haji dan Sanip--menagkap
Wak Katok. Buyung juga yang akhirnya berhasil membunuh harimau yang selalu
mengejar-ngejar mereka.
Tema novel ini sebenarnya terlihat jelas dari perkatakan Pak Haji. Tema ini
adalah "untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mempimpin dirinya
terlebih dahulu dan harus dapat menumdukkan kejahatan demi keselamatan umat
mausia."
2.2 Fakta-fakta Cerita
Fakta-fakta cerita yang merupakan unsur penting struktur karya sastra
ditampilkan secara baik oleh pengarang.
Tokoh dalam novel ini berjumlah 7 orang, yaitu Wak Katok, Pak Balam,
Pak Haji, Buyung, Sanip, Sutan, dan Talib. Penggambaran tokoh-tokoh ini dalam
PENELITIAN TENTANG NOVEL HARIMAU! HARIMAU! 5
cerita mendukung tema serta unsur-unsur struktur lainnya. Namun, tekanan
utama ditujukan kepada Wak Katok yang merupakan pemimpin mereka. Tokoh ini
digambarkan seorang yang dipercaya jago tembak dan mempunyai ilmu hitam
yang banyak. Namun, ternyata tidak seorang pun selama itu yang mampu
membuktikan kebenaran kata-katanya. ketika Pak Balam diterkam harimau dan
Wak Katok tidak mampu membunuh harimau bahkan berusaha mencelakakan
anggota pencari damar lainnya, barulah orang-orang yakin bahwa Wak Katok
sebenarnya seorang yang penakut.
Novel ini dapat dikatakan membongkar habis kegelekan manusia. Pak Haji,
yang dilihat dari gelarnya seharusnya mampu menjadi orang yang baik, ternyata
hanyalah seorang yang egois. Dia hanya memntingkan diri sendiri dan tidak mau
perduli dengan urusan kemasyarakatan.
Tokoh anak-anak muda yang semula digambarkan periang, ternyata sering
pula melakukan hal-hal yang jahat: mencuri, memperkosa, atau mengganggu hak
milik orang lain. Adapun Buyung, walau tidak lepas dari perbuatan jahat
terutama ketika dia berhubungan intim dengan Siti Rubiyah, adalah tokoh muda
yang memberikan harapan.
Dalam hal tokoh ini, pengarang membangunnya lewat hubungan oposisional.
Hubungan oposisional itu dimaksudkan untuk menciptakan konflik. Konflik
tersebut menggerakkan cerita dan mendukung tema seperti yang sudah
disebutkan di bagian sebelumnya.
Konflik yang terjadi lebih banyak bersifat konflik batin tokohnya. Hal itu
terlihat ketika Sutan tidak tahan mendengar ocehan Pak Balam tentang dosa,
tiba-tiba berusaha mencekik Pak Balam. Konflik batin ini muncul ke permukaan
dan menyebabkan alur cerita bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya
secara baik. Inilah yang menarik perhatian Soedjiono sehingga melakukan
analisis terhadap unsur ketengangan HH.
Alur cerita novel ini memang terjaga dengan baik, dalam arti, tahap-tahap
alur seperti eksposisi, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya mulai
berkaitan, cerita menuju klimaks, klimaks, dan penyelesaian semuanya dipelihara
dengan baik.
Nilai lebih novel ini terlihat juga pada setting atau latar yang digunakan.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian tema bahwa novel ini menceritakan
masyarakat pedesaan. Untuk mendukung nilai budaya masyarakat pedesaan,
pengarang dengan teliti memanfaatkan pengetahuannya tentang alam desa.
Deskripsinya mengenai alam pedesaan terlihat sebagai orang yang benar-benar
mengenal alam pedesaan.
Dalam kaitannya dengan struktur, penggunaan latar hutan merupakan pilihan
yang tepat. Hutan merupakan kawasan liar. Siapa yang kuat dialah yang menang.
Soal siapa yang kuat dialah yang menang inilah yang digambarkan di dalam
hutan itu.
Kaitan antara latar hutan dengan tokoh harimau yang selalu
mengejar-ngejar merupakan dua pilihan yang saling mnunjang. Harimau yang
ganas dan hutan raya yang luas memberikan pembayangan yang buas mengenai
kehidupan di dalamnya. Telebih lagi, bahwa kejadian-kejadian yang berkaitan
dengan terkaman harimau itu terjadi pada manusia yang serupa dengan binatang
buas yang tidak perduli dengan eksistensi binatang lainnya. Dalam arti, bila dia
menginginkan sesuatu, maka sesuatu itu terus dikejarnay. Begitu juga halnya
dengan tokoh Wak Katok yang diceritakan dalam novel ini, tidak lain adalah
harimau dalam wujud mausia. Lebih penting dari itu semua, bahwa di dalam diri
mausia bersemayam harimau-harimau yang siap menerkam. Harimau itu berupa
sifat sombong, kepalsuan, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, terlihat kaitan yang
jelas antara tema dengan judul sebagai salah satu unsur alat-alat penceritaan.
Alat penceritaan lainnya yang juga digunakan secara baik adalah sudut
pandang. Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini lebih berat pada
metode orang ketiga. Artinya, narator dalam novel ini bertindak sebagai yang
serba tahu. Metode ini memiliki kelemahan yang dirasakan pembaca adalah
bahwa pembaca tidak merasa akrab dengan certia yang dibacanya. Namun, dari
segi lain, metode ini memberikan keuntungan bagi pengarangnya. Keuntungan
yang didapatkannya adalah bahwa pengarang dapat memasukkan pesan-pesannya
dengan lebih leluasa. Dengan menggunakan metode orang ketiga, pengarang
dapat mengarahkan jalan cerita sesuai dengan rencananya.
Dalam hal penggunaan gaya orang ketiga ini, tampak bahwa pengarang
mempunyai kelebihan. Kelemahan metode ini ditutup dengan kemampuannya
menciptakan ketegangan- ketegangan. Dengan cara itu, ketidakakraban pembaca
dengan karya menjadi hilang. Dengan kata lain, ketegangan yang diciptakan itu
mampu membuat pembaca untuk tidak melepaskan cerita yang tengah dibacanya.
Uraian dalam alinea di atas berkaitan erat dengan unsur alat-alat
penceritaan lainnya. Unsur itu adalah konflik. Ketegangan cerita HH dapat
diciptakan berkat kemampuan pengarang memainkan konflik sebagai salah satu
alat penceritannya. Dalam HH, konflik tidak terjadi sekaligus. Artinya, pengarang
dengan sengaja menjaga unsur ini secara perlahan-lahan. Ketika Pak Balam
diterkam harimau, cerita sebenarnya mulai memuncak. Namun, setelah itu tensi
cerita diturunkan dengan keberhasilan Wak Katok meyakinkan anggota pencari
damar lainnya bahwa harimau yang menyerang mereka bukanlah harimau
siluman.
Ketika kepercayaan ini mulai tumbuh, terjadi konflik lain. Konflik itu
ditandai dengan terbunuhnya Talib, dan seterusnya. Dengan cara seperti ini,
PENELITIAN TENTANG NOVEL HARIMAU! HARIMAU! 7
klimaks cerita tertahan-tahan, dan justru dengan begitulah pembaca berusaha
membaca terus untuk mengetahui apa yang akan terjiadi berikutnya.
Simbol lain yang terlihat digunakan adalah burung gagak. Dalam tradisi
masyarakat di Indonesia, gagak adalah lambang kematian. Penggunaan simbol ini
terlihat ketika beberapa anggota pencari damar mulai diserang oleh harimau. Di
sini terlihat kaitan antara simbol dengan kejadian yang sebenarnya.
Simbol lain yang digunakan secara jelas adalah hutan yang digunakan
sebagai latar cerita. Hutan di sini menyimbolkan suatu keadaan yang kacau,
tidak beraturan, tidak ada hukum;siapa yang kuat dialah yang menang. Dalam
kenyataannya hal-hal seperti itulah yang digambarkan oleh novel ini. Pada
akhirnya, novel ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai novel simbolis. Dikatakan
demikian, karena tokoh, latar, dan masalah-masalah yang diceritakan di sini
sebernarnya merujuk kepada Indonesia. Untuk hal ini lihat bagian tiga tulisan ini.
2.3 Bahasa dan Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra merupakan aspek penting yang perlu dilihat.
Dikatakan demikian, karena bahasalah maka dunia sastra terbentuk.
Penggunakan bahasa dalam bentuk kalimat secara sadar atau tidak sadar
menimbulkan berbagai gaya bahasa. Begitu juga halnya dalam HH.
Dalam HH, bahasa kiasan berupa simile atau perbandingan tidak langsung
banyak digunakan. Penggunaannya dimaksudkan untuk memberikan penekanan
terhadap hal-hal yang dianggap penting. Penggunaan gaya bahasa ini antara lain
terlihat di halaman-halaman 8, 30, 39, 65, dan 167.
Dalam pada itu, personifikasi yang merupakan salah satu bentuk bahasa
kiasan dengan menyatakan benda mati seolah-olah sama dengan benda hidup
antara lain dapat dilihat di halaman-halaman 8, 9, 46, 65, dan 91. Sedangkan
penggunaan metafora antara lain dapat dilihat di halaman-halaman 13, 40, 108,
155 dan 202.
Selain penggunaan bahasa kiasan, novel HH juga memperlihatkan sejumlah
besar gaya bahasa retoris. Ini menunjukkan bahwa pengarang mencurahkan
perhatian yang besar pada masalah gaya bahasa ini agar HH secara keseluruhan
menjadi enak untuk dibaca.
Gaya bahasa retoris yang paling banyak digunakan adalah perulangan. Gaya
perulangan digunakan untuk memberitakan intensitas agar kejadian terasa
konkret dalam diri pembaca. Penggunaan gaya bahasa ini antara lain terlihat di
halaman- halaman 130, 134, 138, 143 dan 171.
Selain perulangan atau repetisi terlihat juga banyaknya gaya bahasa retoris.
Penggunaan gaya bahasa retoris ini merupakan kosenkuensi dari pilihan terhadap
sudut pandangan gaya orang ketiga. Gaya bahasa ini juga sangat tepat dikaitkan
dengan konfilk batin yang terjadi pada semua tokoh. Konflik yang terjadi
menimbulkan sejumlah pertanyaan dalam diri masing-masing tokoh. Contoh
penggunaan gaya bahasa ini antara lain terlihat di halaman-halaman 109, 142,
162, 167-168, dan 179.
Gaya bahasa lainnya yang dominan digunakan dalam HH adalah retorik
retisense, klimaks, dan hiperbola. Retorik retisense adalah gaya bahasa berupa
pernyataan yang tidak diteruskan. Dengan gaya bahasa ini, pengarang
memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menafsirkan apa yang terjadi
seterusnya. Adapun gaya bahasa klimaks berhubungan erat dengan alur cerita
yang mengandung banyak unsur ketegangan. Dalam pada itu, penggunaan gaya
bahasa hiperbol dimaksudkan untuk memberikan tekanan kepada hal-hal yang
dianggap perlu.
Mengakhiri pembicaraan dalam bagian ini dapatlah disimpulkan bahasa dan
gaya bahasa dalam HH diperhatikan secara baik oleh pengarang. Penggunaan
bahasa dan gaya bahasa yang baik ini mempunyai kaitan yang erat dengan
struktur cerita. Dalam arti, penggunaan bahasa dan gaya bahasa tertentu
dimaksudkan pengarang untuk mendukung tema yang hendak disampaikannya.
Pilihan pengarang terhadap gaya klimaks, hiperbol, retorik retisense, perulangan,
dan sebagainya itu, merupakan pilihan yang tampaknya sudah dipikirkan
masak-masak sehingga kehadiran gaya bahasa tersebut tidak dibuat-buat, tetapi
memang merupakan suatu kebutuhan.
3. ANALISIS SEMIOTIK
Pembicaraan dalam analisis semiotik di sini ke dalam dua bagian besar,
yaitu pembacaan semiotik dan sistem makna. Pembacaan semiotik meliputi
pembacaan heuristik dan hermeneutik, sedangkan untuk melihat sistem makna
dilihat karya-karya Mochtar Lubis lainnya dan kenyataan sosial budaya Indonesia
1970-an.
Hasil pembacaan heuristik menunjukkan bahwa unsur-unsur tektula HH
mengacu pada kehidupan nyata. Kehidupan nyata di sini berupa latar hutan dan
alam pedesaan. Nama-nama tokoh menyiratkan adanya hubungan dengan
nama-nama di suatu daerah di Sumatera. Ini menunjukkan bahwa HH sebenarnya
PENELITIAN TENTANG NOVEL HARIMAU! HARIMAU! 9
hendak bercerita mengenai sesuatu dengan latar hutan, desa, dan nilai- nilai
yang hidup di dalamnya.
Pembacaan heuristik juga menunjukkan bahwa struktur internal tingkat
umum HH banyak memperlihatkan hubungan oposisional. Hubungan oposisional
itu sebenarnya menunjukkan pola berpikir manusia yang memang selalu melihat
dua hal dalam dua sisi yang bertentangan. Pertentangan yang paling dominan
yang terlihat adalah antara yang baik dan yang jahat.
Pada tingkat semiotik sastra pertentangan lebih rumit dan abstrak.
Pertentangan di tingkat ini menunjukkan bahwa HH mengandung banyak
paradoks dan ironi. Hal itu terlihat dari banyaknya kecaman terhadap sifat dan
sikap yang ditunjukkan manusia. Sifat kemunafikan, kebohongan, dan
semacamnya terasa sekali disoroti secara tajam. Sorotan yang kritis itu
khususnya ditujukan kepada para pemimpin.
Dalam kaitannya dengan sisitem makna, novel HH memperlihatkan adanya
kaitan dengan dua hal. Pertama, kaitan dengan Karya-karya Mochtar Lubis
sebelumnya. Kedua, kaitan dengan fenomena sosial budaya di Indonesia pada
tahun 1970-an.
Kaitan antara HH dengan novel-novel Mochtar Lubis lainnya terlihat dalam
kesamaan tema. Tema-tema novel Tak Ada Esok, Jalan Tak Ada Ujung, Senja
di Jakarta, Tanah Gersang, dan Maut dan Cinta, semuanya menunjukkan adanya
perhatian yang besar terhadap persoalan nasib bangsa Indonesia. Hal ini berkaitan
dengan konsep humanisme universal yang dianutnya; faham yang menganggap tidak
terdapat perbedaan di antara manusia di atas dunia ini. Oleh karenanya, setiap
manusia wajib saling memperhatikan nasib yang satu dengan nasib yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan fenomena sosial budaya Indonesia tahun 1970-an,
novel HH memperlihatkannya dengan jelas. Pada tahun 1974 Malapetaka Lima
Lelas Januari (Malari) sebagai protes terhadap dominasi ekonomi Jepang atas
Indonesia. Protes ini sebenarnya merupakan akumulasi ketidakpuasan sebagian
masyara- kat Indonesia, khususnya mahasiswa dan kaum intektualnya, terhadap
pembangunan yang hanya menekankan pada pembangunan ekono- mi dengan
megakibatkan pembangunan lainnya, khususnya politik.
Pada masa ini, tokoh-tokoh yang sebenarnya diharapkan tampil membawa
aspirasi rakyat justru diam. Tokoh Pak Haji dalam HH adalah simbol ulama yang
mementingkan diri sendiri. Pak Balam adalah simbol bekas pejuang yang takut
menyatakan kebenaran-kebenaran sejarah. Tokoh Wak Hitam merupakan simbol
kehidupan Indonesia modern yang masih ditandai dengan
kipercayaan-kepercayaan tradisional. Kesemua simbol itu terjalin dalam
hubungan struktural yang mencerminkan fenomena sosial budaya Indonesia pada
tahun-tahun 1970-an itu; tahun-tahun ketika HH ditulis dan diterbitkan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan di atas, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, struktur novel HH menunjukkan keutuhan. Hal itu disebabkan
karna sesama unsur pembentuk struktur itu berkaitan satu sama lain secara
erat.
Perdua, novel ini sebenarnya berusaha menggambarkan persoalan universal;
persoalan yang menyangkut kehidupan manusia di mana saja. Persoalan itu
menyangkut soal kejujuran, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
Ketiga, analisis ini membuktikan bahwa analisis yang semata-mata
menekankan aspek struktur tidak cukup. Oleh karena itu, analisis struktur karya
sastra sebaikanya digabung dengan analisis semiotik.
Keempat, karya HH ternyata mempunyai kaitan yang erat dengan
karya-karya Mochtar Lubis sebelumnya. Dengan kata lain menunjukkan adanya
hubungan interteks. Hubungan itu terutama sekali terlihat dari masalah-masalah
kejururan hati nurani yang selalu dibahas oleh pengarang ini.

                                                DAFTAR PUSTAKA
 
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of literary Terms. New York: Holt Rinehart and
Winston.
Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the
Twentieth Century. London: C.Hurst & Company.
Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. London: Methuen and Co.
Ltd.
Hutakalung, M.S. 1967. Tanggapan Dunia Asrul Sani. Jakarta: Gunung Agung.
PENELITIAN TENTANG NOVEL HARIMAU! HARIMAU! 11
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Kmunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Lindrawaty, Netty. 1982. Teknik Penokohan Novel-novel Mochtar Lubis. Tesis
Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Satra Universitas Gadjah Mada.
Lubis, Mochtar. 1981. Senja di Jakarta. Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Jaya.
------. 1982. Tanah Gersang. Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Jaya.
------. 1989. Tidak Ada Esok. Cetakan ketiga. Jakarta: Pustaka Jaya.
------. 1989. Maut dan Cinta. Cetakan Keempat. Jakarta: Pustaka Jaya.
Martin, Wallace. 1986. Recent Theories of Narrative. Ithaca: Cornell University
Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1989. Kritik Sastra Indonesia Modern Telaah dalam
Bidang Kritik Teoritis dan Kritik Terapan. Disertasi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University
Press.
Scholes, Robert. 1978. Structuralism in Literature. An Introduction. New Haven
and London: Yale University Press.
Sebeok, Thomas(Ed.). 1978. Studies in Semiotics. Lisse: The Peter and Ridder
Press.
Soedjiono. 1985. Novel Harimau-harimau Karya Mochtar Lubis. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumardjo, Jakob. 1975. "Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis" Dalam Pikiran
Rakyat No. 131, Th.?, Halaman 5.
------. 1979. Novel Indonesia Mutakhir. Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur
Cahaya.
Tanzil, Hazil. 1976. "Moralitas Harimau! Harimau!." Dalam Sinar Harapan, No.
4799, Th. XVI, Halaman 10.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
------. 1989. Sastra Indonesia Modern Ⅱ. Jakarta: Pustaka Jaya.