Sebenarnya permasalahan ini
merupakan permasalahan yang cukup usang dan sudah lama diperdebatkan. Akan
tetapi dirasa perlu untuk diangkat kembali karena ada pergeseran isu yang cukup
substantive, yaitu dari furu’ menuju ushul. Maksudnya, pada awalnya
permasalahan ini dianggap sebagai permasalahan furu’iyah, sehingga
masing-masing pihak yang berdebat tidak saling mengkafirkan dan mensyirikkan,
dan kemudian berubah menjadi permasalahan ushul, sehingga pihak-pihak yang
tidak setuju terhadap ziarah kubur dan tahlilan mengkafirkan dan mensyirikkan
para pelakunya.
Semua pasti sepakat bahwa syirik dan
kafir adalah hal yang mesti harus dijauhi dan dihindari. Semua muslim dari
manapun kelompok dan organisasinya pasti marah apabila keislaman dan
keimanannya dianggap tercemar dan berlumuran dengan Lumpur kesyirikan dan
kekafiran. Demikian juga halnya dengan kita warga nahdliyin, akan marah dan
jengkel ketika keislaman dan keimanan kita dianggap berlumuran dengan Lumpur
kesyirikan dan kekafiran. Dalam konteks inilah sebenarnya LBM NU cabang Jember
secara intensif melakukan kajian-kajian terhadap tradisi amaliyah nahdliyah dan
melakukan advokasi terhadapnya dengan sebuah keyakinan bahwa para pendiri
Nahdlatul Ulama adalah sosok ulama yang tingkat keislaman, keimanan, keilmuan
dan keikhlasannya tidak perlu diragukan lagu, sehingga dalam menerima dan
melanggengkan amaliyah nahdliyah beliah-beliau pasti selektif dan didasarkan
pada sebuah ilmu, tidak ngawur, serampangan apalagi sembrono. Dengan tingkat
keilmuan dan keikhlasan yang dimiliki pasti beliau-beliau itu lebih takut dosa
dan neraka dibandingkan dengan kita, dan mungkin saja dibandingkan dengan
mereka para penyerang tradisi amaliyah nahdliyah.
Semua permasalahan apabila
dinisbahkan kepada Islam pasti sangat mudah untuk menyelesaikannya. Karena,
semua keputusan hukum di dalam Islam harus selalu ada cantolan dalilnya.
Seseorang tidak dapat memubahkan, mewajibkan, mengharamkan, mensunnahkan dan
memakruhkan sesuatu apabila tidak ada cantolan dalil dan argumentasinya.
Demikian juga halnya dengan para pendukung dan penentang amaliyah tahlilan dan
ziarah kubur harus mendasarkan pandangannnya pada dalil-dalil yang absah, tidak
boleh hanya didasarkan pada logika, hayalan dan lamunan saja.
Tulisan pendek ini mencoba untuk mengurai dasar-dasar argumentatif amaliyah nahdliyah yang biasa kita lakukan khususnya berkaitan dengan tahlil dan ziarah kubur.
Tradisi Tahlilan dan Analisis Argumentasi
Kata “tahlilan” merupakan bentuk masdar dari fi’il madli “hallala” yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum’at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.
Tulisan pendek ini mencoba untuk mengurai dasar-dasar argumentatif amaliyah nahdliyah yang biasa kita lakukan khususnya berkaitan dengan tahlil dan ziarah kubur.
Tradisi Tahlilan dan Analisis Argumentasi
Kata “tahlilan” merupakan bentuk masdar dari fi’il madli “hallala” yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum’at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.
Biasanya
sebab dan alasan kenapa tahlilan harus di tolak oleh para penentangnya bermuara
pada argumentasi sebagai berikut :
1. Tahlilan tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
2. Tahlilan merupakan budaya masyarakat
Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar
3. Tahlilan dianggap merepotkan dan
memberatkan keluarga mayat, karena di dalam tahlilan pasti selalu ada jamuan
4. Berkumpul untuk melakukan tahlilan
pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap)
5. Di dalam tahlilan pasti ada unsur
tawasul.
Argumentasi-argumentasi para
penentang di atas adalah argumentasi klasik yang sudah ditanggapi berkali-kali.
Akan tetapi, karena sejak awal bersikap tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya
yang paling benar), maka penjelasan yang diberikan tidak berdampak dan
berpengaruh sama sekali. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan kita jelaskan
sekali lagi mengenai kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada kita.
1. Tahlilan tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
Memang harus diakui bahwa kata
“tahlilan” sebagai sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa
substansi tahlilan adalah dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit. Dzikir
berjamaah dan berdoa untuk si mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan
dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam
al-Qur’an dan al-Hadits, diantaranya adalah :
o Dari al-Qur’an
Surat
al-Hasyr : 10
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman
lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Surat Muhammad
: 19
“Maka
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu
tinggal”.
o Dari al-Hadits
•وعن أبي
سعيد الخدري وأبي هريرة رضي الله عنهما قالا: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم
«لا يقعد قوم يذكرون الله عز وجل إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم
السكينة وذكرهم الله فيمن عنده»
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya”.
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya”.
•وَمِنْ
حَدِيث مُعَاوِيَة رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ لِجَمَاعَةٍ جَلَسُوا يَذْكُرُونَ
اللَّه تَعَالَى ” أَتَانِي جِبْرِيل فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّه يُبَاهِي بِكُمْ
الْمَلَائِكَة ” .
” Dari hadits Mu’awiyah yang dihukumi marfu’, dia berkata “Nabi bersabda untuk para jama’ah yang duduk berdzikir kepada Allah: ” malaikat Jibril datang kepadaku dan menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu kepada malaikat”
” Dari hadits Mu’awiyah yang dihukumi marfu’, dia berkata “Nabi bersabda untuk para jama’ah yang duduk berdzikir kepada Allah: ” malaikat Jibril datang kepadaku dan menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu kepada malaikat”
oDari Logika
إن الجماعة
قوة قال الله تعالى واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا والحجارة لا يستطيع كسرها
إلا الجماعة وقد شبه الله تعالى القلوب القاسية بالحجارة في شدة قساوتها فقال عز
من قائل ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة فكما أن الحجارة لا
يستطيع كسرها إلا الجماعة فكذلك القلب القاسي يسهل تليينه إذا تساعدت عليه جماعة الذاكرين.
(الموسوعة اليوسفية )
Dari uraian
dan argumentasi di atas dapat dipastikan bahwa substansi tahlilan memliki
cantolan dalil, baik naqliy (al-qur’an dan al-hadits), maupun aqliy.
•Tahlilan
merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi
al-kuffar.
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:
o Harus
dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah I’tiqadi. Karena
demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di dalam hati
warga nahdliyin bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari kedua, ketiga
dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada keyakinan bahwa
berdo’a kepada si mayit pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya lebih
afdlal dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Tahlilan yang substansinya
adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan pengampunan dari Allah boleh
dilakukan kapan saja, atau bahkan boleh tidak dilakukan, meskipun biasanya
kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya.
Tasyabbuh
boleh dialamatkan kepada warga nahdliyin ketika meyikini bahwa tahlilan wajib
dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud
lebih afdlal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya
tidak lebih dari sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh
ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini
sama persis dengan dengan tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam
(Nuzulul qur’an, halal bi halal, maulid nabi, isra’-mi’raj dan lain sebagainya)
yang boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu.
Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan dzikir hanyalah
merupakan tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.
o Bahwa
sikap warga nahdliyin sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab yang biasa
dijadikan sebagai rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab al-fatawa
al-fiqhiyah al-kubro yang berbunyi :
o ( وَسُئِلَ
) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ
وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ
عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ
تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ
يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ
الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ
الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ
الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ
خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ
فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ
جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ
عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ
الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ
ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ .( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ
مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ
لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ
رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ
وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ
ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ
عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ
وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ
فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ
لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى
غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ
يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ (
الفتاوى الفقهية الكبرى لأبن حجر الهيتمى )
oوالتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييده ببعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفى سابع وفي تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الايتام والا فيحرم (نهاية الزين : باب فى الوصية , 281)
oوالتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييده ببعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفى سابع وفي تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الايتام والا فيحرم (نهاية الزين : باب فى الوصية , 281)
Tradisi yang
berlaku dan berkembang di kalangan nahdliyin adalah : apabila ada seorang
muslim meninggal dunia, maka tetangga dan kerabat yang ada disekitarnya
berbondong-bondong melakukan ta’ziyah, dan dapat dipastikan bahwa pada saat
ta’ziyah kebanyakan dari mereka membawa beras, gula, uang dan lain sebagainya.
Tetangga yang ada di kanan-kiri bau-membau membantu keluarga korban untuk
memasak dan menyijakan jamuan, baik untuk keluarga korban atau untuk para
penta’ziyah yang hadir. Apabila hal ini yang terjadi, apakah ini tidak dapat
dianggap sebagai terjemahan kontekstual dari hadits nabi yang berbunyi :
قال النبي صلى الله عليه و سلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم
قال النبي صلى الله عليه و سلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم
Hadits di
atas apabila diamalkan secara tekstual justru akan menjadi mubadzir, karena
kalau seandainya semua tetangga yang ta’ziyah membawa makanan yang siap saji,
maka dapat dipastikan akan banyak makanan yang basi. Catatan yang lain lagi
adalah bahwa jamuan yang disajikan di dalam acara tahlilan bukanlah merupakan
tujuan. Tujuan utama para tetangga yang hadir adalah berdo’a untuk si mayit.
Karena demikian, jamuan boleh diadakan dan juga boleh ditiadakan. Bahkan,
banyak dari kalangan kyai yang menjadi tokoh sentral warga nahdliyin memberikan
pemahaman dan anjuran agar jamuan yang ada lebih disederhanakan, dan bahkan
kalau mungkin hanya sekedar suguhan teh saja.
•Berkumpul
untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah”
(meratap).
Realitas
berkumpul pada saat tahlilan sulit untuk dapat dipahami “hanya sekedar
berkumpul” dalam rangka tenggelam dan larut dalam kesedihan, dimana hal ini
dianggap sebagai illat al-hukmi kenapa berkumpul tersebut dianggap sebagai
niyahah. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab I’anat al-Thalibin, yang berbunyi
كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
Berkumpul
pada malam setelah kematian bukanlah menjadi tujuan. Yang menjadi tujuan adalah
berdzikir dan berdoa untuk si mayit yang sedang mengalami ujian berat
sebagaimana yang ditegaskan didalam kitab Nihayat al-zain, hal : 281 yang
berbunyi :
وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره الا كالغريق المغوث – بفتح الواو المشددة – اى الطالب لان يغاث ينتظردعوة تلحقه من ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها
وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره الا كالغريق المغوث – بفتح الواو المشددة – اى الطالب لان يغاث ينتظردعوة تلحقه من ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها
Ketika
seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena gempa, dll),
adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang takziah kepadanya,
serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada yang lebih baik dari
menghibur serta meringankan bebannya selain daripada mengajaknya berdzikir,
mengingat Allah, dan berdoa bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg
ditinggalkannya.
Dari uraian
di atas sulit dapat diterima apabila lafadz ” الاجتماع” yang terdapat didalam
hadits nabi diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah berdzikir dan
berdoa, bukan semata-mata berkumpul hanya sekedar tenggelam dan berlarut-larut
dalam kesedihan.
Di dalam
tahlilan pasti ada unsur tawasul.
Sebagai
gambaran awal untuk memetakan tentang konsep tawasul, dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan mutawasal bih sebagai wasilah (perantara) dalam rangka berdoa kepada Allah. Berdoa dapat langsung kepada Allah (tanpa tawasul) dan juga dapat menggunakan perantara mutawassal bih. Menggunakan mutawassal bih sebagai perantara bukanlah merupakan sebuah keharusan dalam berdoa.
Mutawassal bih secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan mutawasal bih sebagai wasilah (perantara) dalam rangka berdoa kepada Allah. Berdoa dapat langsung kepada Allah (tanpa tawasul) dan juga dapat menggunakan perantara mutawassal bih. Menggunakan mutawassal bih sebagai perantara bukanlah merupakan sebuah keharusan dalam berdoa.
Mutawassal bih secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
o Mutawassal
bih yang berupa al-a’mal al-shalihah.
o Mutawassal
bih yang berupa al-dzawat al-fadlilah. Mutawassal bih yang berupa al-dzawat
al-fadlilah dibagi menjadi dua, yaitu :
o Dengan
nabi Muhammad SAW. Kategori ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
- Sebelum
lahirnya nabi (قبل وجوده )
- Pada saat nabi hidup ( فى حياته )
- Setelah nabi wafat (بعد وفاته)
- Pada saat nabi hidup ( فى حياته )
- Setelah nabi wafat (بعد وفاته)
o Dengan
awliya dan shalihin. Kategori ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
- Pada saat mereka masih hidup (في حياتهم)
- Setelah mereka wafat (بعد وفاتهم).
- Pada saat mereka masih hidup (في حياتهم)
- Setelah mereka wafat (بعد وفاتهم).
Tidak
terjadi perbedaan pendapat mengenai diperbolehkannya menggunakan al-a’mal
al-shalihah sebagai mutawassal bih. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang
bercerita tentang tiga orang pemuda yang terjebak di sebuah goa. Hadits
tersebut berbunyi :
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ حَدَّثَنِى سَالِمُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ
رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ
فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ
الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ
تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ اللَّهُمَّ
كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا
أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ
عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا
نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ،
فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ
الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ
هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ » .
قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ
لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ
نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ
، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ
تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ
عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ .
فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ
النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ
كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ .
فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ
مِنْهَا . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ
إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ
وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ
مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ
إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ
وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ
تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ
فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ
ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ
الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ » .
Sedangkan
tawassul dengan menggunakan dzawat fadlilah (orang-orang yang keistimewaan di
hadapan Allah, dari kalangan para nabi, awliya dan shalihin) terjadi perbedaan
pendapat yang cukup ekstrim tentang masalah ini. Ada yang membolehkan dan ada
yang melarangnya dan bahkan menganggapnya sebagai sebuah bentuk kesyirikan.
Semua pandangan, baik yang pro maupun yang kontra harus diapresiasi selama
menggunakan dalil, analisa dan argumentasi yang ilmiyah. Sebaliknya, pandangan
yang subyektif, sectarian dan tidak disertai argumentasi yang ilmiyah harus
ditolak dan diluruskan.
Dalil-dalil
yang menguatkan kebolehan tawasul dengan menggunakan dzawat fadlilah adalah :
• Bi al-nabi
:
o Qabla
wujudihi. Hadits nabi yang menguatkan hal ini adalah :
(قال رسول
الله – صلى الله عليه وسلم – : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يارب ! أسألك بحق محمد
لما غفرت لي ، فقال الله: ياآدم ! وكيف عرفت محمداً ولم أخلقه ؟ قال : يارب ! لأنك
لما خلقتني بيدك ونفخت فيَّ من روحك رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً لا
إله إلا الله محمد رسول الله ، فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك ،
فقال الله : صدقت يا آدم ، إنه لأحب الخلق إليَّ ، أدعني بحقه فقد غفرت لك ، ولولا
محمد ما خلقتك)) .أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه [ج2 ص615] (1) ، ورواه الحافظ
السيوطي في الخصائص النبوية وصححه (2) ، ورواه البيهقي في دلائل النبوة وهو لا
يروي الموضوعات ، كما صرح بذلك في مقدمة كتابه (3) ، وصححه أيضاً القسطلاني
والزرقاني في المواهب اللدنية [ج1 ص62](4) ، والسبكي في شفاء السقام ، قال الحافظ
الهيثمي : رواه الطبراني في الأوسط وفيه من لم أعرفهم (مجمع الزوائد ج8 ص253)
o Fi
hayatihi. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
ائت الميضأة
فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قال اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد – صلى الله
عليه وسلم – نبي الرحمة يامحمد إني أتوجه بك إلى ربك فيجلي لي عن بصري ، اللهم
شفعه فيَّ وشفعني في نفسي ، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى
دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر)) ..قال الحاكم : هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه
.وقال الذهبي عن الحديث : أنه صحيح (ج1 ص519) .
o Ba’da wafatihi.
Penjelasan yang menguatkan tentang hal ini adalah :
وليس هذا
خاصاً بحياته – صلى الله عليه وسلم – بل قد استعمل بعض الصحابة هذه الصيغة من
التوسل بعد وفاته – صلى الله عليه وسلم – فقد روى الطبراني هذا الحديث وذكر في
أوله قصة وهي أن رجلاً كان يختلف إلى عثمان بن عفان رضي الله عنه في حاجة له ،
وكان عثمان رضي الله عنه لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته ، فلقى الرجل عثمان بن
حنيف فشكا ذلك إليه ، فقال له عثمان بن حنيف : ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد
فصل فيه ركعتين ثم قل :اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد – صلى الله عليه
وسلم – نبي الرحمة ، يامحمد ! إني أتوجه بك إلى ربك فيقضي حاجتي . وتذكر حاجتك ..
• Bi
al-anbiya wa al-shalihin
o Fi
hayatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
أخرج البخاري
في صحيحه عن أنس أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه – كانوا إذا قحطوا – استسقى
بالعباس بن عبد المطلب فقال : [ اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا
نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا ] .
o Ba’da
wafatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
عن أبي سعيد
الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : من خرج من بيته
إلى الصلاة ، فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم
أخرج أشراً ولا بطراً ولا رياء ولا سمعة ، خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك ،
فأسألك أن تعيذني من النار ، وأن تغفر لي ذنوبي ، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ،
أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك .
Uraian di
atas menegaskan bahwa tradisi tahlilan yang dilakukan oleh warga nahdliyin
memiliki dasar, dalil dan argumentasi yang kuat, sehingga tidak patut untuk
disesatkan, disyirikkan atau dibid’ahkan. Menganggap tradisi tahlilan adalah
bid’ah, sesat dan syirik berarti yang bersangkutan kurang memahami konsep dan
dalil agama.
Ziarah Kubur
dan Analisis Argumentasi
Tak
seorangpun dapat menyangkal dan menentang bahwa ziarah kubur merupakan hal yang
disyariatkan di dalam Islam. Namun demikian, masih saja terdapat kelompok orang
yang menentang ziarah kubur dengan berbagai dalih dan alasan yang tentunya
kurang ilmiyah dan sangat emosional.
Ada nasihat
yang sangat menarik yang ditawarkan oleh Imam al-qurthubi di dalam kitab
tafsirnya yang berbunyi :
قال العلماء
: ينبغي لمن أراد علاج قلبه وانقياده بسلاسل القهر إلى طاعة ربه ان يكثر من ذكر
هاذم اللذات ومفرق الجماعات وموتم البنين والبنات ويواظب على مشاهدة المحتضرين
وزيادرة قبور أموات المسلمين فهذه ثلاثة أمور ينبغي لمن قسا قلبه ولزمه ذنبه أن
يستعين بها على دواء دائه ويستصرخ بها على فتن الشيطان وأعوانه فإن انتفع بالإكثار
من ذكر الموت وانجلت به قساوة قلبه فذاك وإن عظم عليه ران قلبه واستحكمت فيه دواعي
الذنب فإن مشاهدة المحتضرين وزيارة قبور أموات المسلمين تبلغ في دفع ذلك ما لا
يبلغه الأول لأن ذكر الموت إخبار للقلب بما إليه المصير وقائم له مقام التخويف
والتحذير وفي مشاهدة من احتضر وزيادة قبر من مات من المسلمين معاينة ومشاهدة فلذلك
كان أبلغ من الأول
Dari
pandangan dan uraian Imam al-Qurtubi di atas, kita akan menganggap wajar dan
bahkan menganggap benar tradisi ziarah kubur yang dilakukan dan digandrungi
oleh kalangan nahdliyin dengan berjamaah ziarah ke makam wali songo dan lain
sebagainya. Karena ziarah kubur merupakan salah satu dari tiga hal yang mujarab
untuk mengobati dan menundukkan kerasnya hati; tiga hal dimaksud adalah :
mengingat mati, menyaksikan orang yang sedang sakaratul maut dan ziarah kubur.
Dari
pandangan ini, maka sebenarnya orang yang berziarah ke makam para wali tidak
hanya berkesempatan untuk bertawasul kepada para awliya dan shalihin, akan
tetapi juga berkesempatan untuk mengobati hatinya sehingga pada akhirnya akan
lebih taat kepada Allah.
Disamping pertimbangan di atas hadits nabi yang menjelaskan tentang dianjurkannya ziarah kubur sangat banyak dan dikeluarkan oleh banyak perawi, sehingga tingkat kemakbulannya tidak dapat diragukan lagi. Hadits-hadits dimaksud diantaranya adalah :
Disamping pertimbangan di atas hadits nabi yang menjelaskan tentang dianjurkannya ziarah kubur sangat banyak dan dikeluarkan oleh banyak perawi, sehingga tingkat kemakbulannya tidak dapat diragukan lagi. Hadits-hadits dimaksud diantaranya adalah :
• حدثنا زبيد
بن الحارث عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم إني كنت نهيتكم عن ثلاث عن زيارة القبور فزوروها ولتزدكم زيارتها خيرا ….
(رواه النسائى )
• و حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنبأ ابن وهب أخبرني ابن جريج عن أيوب بن هانىء عن مسروق بن الأجدع عن عبد الله بن مسعود : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور و أكل لحوم الأضاحي فوق ثلاث و عن نبيذ الأوعية ألا فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا و تذكر الآخرة …. (رواه الحاكم )
• حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ هَانِئٍ عَنْ مَسْرُوقِ بْنِ الأَجْدَعِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ ». (رواه ابن ماجه )
• حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبًا مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَفَدَاهُ بِالأَبِ وَالأُمِّ وَقَالَ لَهُ : مَا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ :« إِنِّى اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى اسْتِغْفَارِى لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى فَبَكَيْتُ لَهَا رَحْمَةً مِنَ النَّارِ ، وَإِنِّى كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِىِّ أَنْ تُمْسِكُوهَا فَوْقَ ثَلاَثٍ فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشُّرْبِ فِى الأَوْعِيَةِ فَاشْرَبُوا فِى أَىِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ وَلاَ تَشْرَبُوا مُسْكِرًا ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ زُهَيْرٍ دُونَ قِصَّةِ أُمِّهِ. (رواه البيهقي )
• و حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنبأ ابن وهب أخبرني ابن جريج عن أيوب بن هانىء عن مسروق بن الأجدع عن عبد الله بن مسعود : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور و أكل لحوم الأضاحي فوق ثلاث و عن نبيذ الأوعية ألا فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا و تذكر الآخرة …. (رواه الحاكم )
• حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ هَانِئٍ عَنْ مَسْرُوقِ بْنِ الأَجْدَعِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ ». (رواه ابن ماجه )
• حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبًا مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَفَدَاهُ بِالأَبِ وَالأُمِّ وَقَالَ لَهُ : مَا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ :« إِنِّى اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى اسْتِغْفَارِى لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى فَبَكَيْتُ لَهَا رَحْمَةً مِنَ النَّارِ ، وَإِنِّى كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِىِّ أَنْ تُمْسِكُوهَا فَوْقَ ثَلاَثٍ فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشُّرْبِ فِى الأَوْعِيَةِ فَاشْرَبُوا فِى أَىِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ وَلاَ تَشْرَبُوا مُسْكِرًا ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ زُهَيْرٍ دُونَ قِصَّةِ أُمِّهِ. (رواه البيهقي )
Meskipun
manfaat ziarah kubur sangat besar dan dalil yang menguatkannya juga sangat
banyak, namun masih saja banyak kelompok yang menentang ziarah kubur. Dari
literature yang kita baca yang ditulis oleh para penentang ziarah kubur dapat
disimpulkan bahwa penentangan mereka bermuara pada beberapa alasan diantaranya
adalah :
• Berbagai
kemaksiatan banyak terjadi pada saat ziarah kubur.
• Kesyirikan
banyak dilakukan oleh para peziarah.
Dua alasan
di atas merupakan alasan yang bersifat ‘aridly (insidentil) dan bukan sesuatu
yang pasti terjadi. Karena demikian, sebuah pembahasan akan menjadi bias dan
tidak ilmiyah karena meninggalkan substansi permasalahan yang sebenarnya.
Marilah kita mencoba untuk mengkritisi alasan yang mereka kemukakan.
http://www.aswaja-nu.com/2010/02/tahlilan-dan-ziarah-kubur-larangan-atau_20.html
E.
Sunnahnya membaca Al-quran diatas kubur dan mengirimkan pahalanya untuk mayyit.
Telah
masyhur bahwa imam-imam madzab sunni menyatakan sampainya hadiah pahala kepada
mayyit muslim, bahkan ibnu qayyim dan ibnu taymiyah yang katanya imamnya para
wahhaby menyatakan demikian. Ini buktinya :
bnul Qayyim
(Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca
Al-Qur’an diatas kuburanScan Kitab bahasa Arab :Cover :
Baca Yang
berwarna Merah (page 5 digital book):
kitab
ar-rooh (ar-ruh digital) Bisa di download di :
Scan kitab
ar-ruh tarjamah (bahasa melayu) :
cover :
Kitab ar-ruh
:
Teks Arab
Kitab Arruh Ibnu qayyim pada halaman 5 (kitab digital) :
وقد ذكر عن
جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد
الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن
وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك وقال
الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا
يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه
قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على
التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال
عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت
يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق
حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة
الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا
إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل
يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم
فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ
عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع
وقل للرجل يقرأ
وقال الحسن
بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها
وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره
يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول
مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت
أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن
الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء
إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال
اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم
الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي
ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان
ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح
ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Membaca
Al-qur’an Diatas Kubur Dan Mengadiahkan Pahalanya bagi Mayyit (Muslim)
Tarjamahannnya :
Pernah
disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya
dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata abdul haq,
diriwayatkan bahwa Abdullah bin umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas
kuburnya surah al-baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh mu’alla bin hanbal, pada
mulanya mengingkari pendapat ini kerana masih belum menemui sesuatu dalil
mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya
bahwa pendapat itu betul.
Berkata
Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ : Telah berkata kepadaku Al-Abbas bin
Muhammad Ad-dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj,
daripada ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia
mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan
Nama Allah, dan atas agama Rasulullah !, Kemudian ratakanlah kubur itu
dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat albaqarah,
kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar ra. Menyuruh membuat demikian. Berkata
Al-Abbas Ad-Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau
dia ada menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya :
Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah
menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.
Berkata
Khallal, telah memberitahuku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, berbicara kepadaku
Ali bin Muwaffa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar,
katanya :Sekalai peristiwa saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad
bin Qudamah Al-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu
dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur
itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan !
Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !. Apa bila kita keluar dari
pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari kepada Imam Ahmad bin
Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir
Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata
Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari seterusnya : Aku menghafal sesuatu
daripadanya ! Sangkal Imam Ahmad bin Hanbal : Yakah, apa dia ?
Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, daribada
Abdul Rahman Bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya ia berpesan,
kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan
surat Al-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku
mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian
itu.
Mendengar
itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah :
Kalau begitu aku tarik tegahanku (Bhs Ind : penolakanku ) itu. Dan
suruhlah orang buta itu membacakannya.
Berkata Al-
Hasan bin As-sabbah Az-za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal
itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka
Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !
Khalal pun
telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshor,
apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi
kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada Al-Qur’an.
Asy-sya’bi
berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An-Naqid, katanya aku telah mendengar
Al-Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara
perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana
yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki danmemberitahuku,
katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga
Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang
baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.
Telah
memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar atrusy
berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at,
kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya :
Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku
mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau
memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala
itu bagi sekalian ahli kubur ini !
Apabila tiba
hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu
bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu
Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal
dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku
bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak
fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan
dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat
bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.
(Tarjamah
Kitab Ar-ruh Hafidz Ibnuqayyim jauziyah, ‘Roh’ , Ustaz Syed Ahmad
Semait, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1990, halaman 17 – 19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar