Mengapa remaja kita cenderung terjerumus
pada
hal negatif?
Remaja
merupakan masa labil emosi. Pada usia ini, mereka sedang berupaya
mencari-cari identitas diri. Kadang diekspresikan dengan ingin menjadi
“wah” yang kadang negatif. Tapi kita tidak boleh kaku dan hanya
menyalahkan remaja. Karena remaja adalah pelaku sekaligus korban yang
perlu kita selamatkan, tanpa harus disalahkan. Ada jaring emosional
sensitif
yang untuk merajutnya perlu keteladanan.
Jadi
apa yang harus dilakukan?
ER: Pertama,
menanamkan pendidikan agama sejak dini
sebagai kontrol. Dalam ajaran agama disebutkan, Kullu mauludin yuladu `ala al-fithrah (Setiap bayi
dilahirkan dalam keadaan suci). Makanya setiap bayi yang baru lahir
selalu diperdengarkan adzan
dan iqomah sebagai
pondasi spiritualitas keberagamaan. Menjadi tanggungjawab orang tua untuk
melukis karakter anak yang pada hakekatnya suci. Dengan kesadaran keberagamaan,
dalam arti takwa — kita merasa selalu
diawasi
Tuhan di manapun — maka kita tidak akan berani berbuat nekoneko, yang dilarang atau yang bertentangan dengan
nilai-nilai agama dan sosial. Ittaqillaha
haitsuma kunta (Bertakwalah di manapun kamu berada). Kedua,
pendidikan umum. Ada kesan, pendidikan pesantren
vis a vis pendidikan umum.
Padahal, ada kekhasan masingmasing yang saling melengkapi. Pesantren itu
pendidikan ke arah ‘ubudiyyah
(peribadatan, red.), sedang sekolah umum mengacu pada hal-hal duniawiyah (dunia, red.).
Bahkan hingga kini sebagian kalangan pesantren mengatakan,
“untuk apa sih belajar matematika,
jika toh malaikat tidak bertanya soal itu”.
Padahal
kita tahu, penemu aljabar, astronomi maupun pelopor dunia kedokteran adalah
orang Islam. Mengapa kita tidak bisa belajar dari mereka? Itu kan sangat
ironis. Tugas kita adalah menghilangkan dikotomi pesantren dan sekolah umum
itu, sehingga kita bisa berhasil di masa depan.:
Bagaimana cara efektif menyelamatkan
remaja-remaja kita?
Faktor
terpenting adalah memupuk kesadaran pribadi masing-masing. Meskipun para ulama,
polisi dan lain sebagainya menghimbau, tanpa kesadaran pribadi semuanya sia-sia.
Keikutsertaan mereka pada organisasi yang positif dapat menjadi kontrol
labilnya emosi mereka dan kontrol bagi berbagai perilaku menyimpang. Jadi, bagi
remaja yang masih sekolah, efektifkan organisasiorganisasi intra sekolah untuk
mengembangkan diri dan mengasah bakat terpendam dalam berbagai bidang yang
positif. Ini berguna untuk masa depan. Kadang pihak sekolah memang ‘kaku’
dengan tidak mendukung kegiatan siswa, karena dianggap sebagai perlawanan. Tapi
remaja harus bisa menunjukkan diri dengan karya positif, bukan menentang dengan
arogansi keremajaannya. Ini memang dilematis, tapi konsisten membangun potensi
diri harus tetap dilakukan.Bagaimana
organisasi meminimalkan kenakalan remaja? ER: Organisasi itu
penting sebagai wahana mengembangkan diri secara efektif. Ketika Orde reformasi
terbuka, maka dibutuhkan berbagai organisasi yang lebih inovatif. Bahkan kita
bisa mengikuti beberapa organisasi ekstra atau organisasi pemuda untuk lebih menggali
kemampuan dan potensi diri. Jadi, berorganisasi tidak bisa hanya mengandalkan
OSIS. Di dalam organisasi, kita akan mengenal leadership, etos kerja dan sebagainya. Kita juga dilatih
hidup dalam komunitas dan menyelesaikan persoalan yang ada di dalamnya. Dari
organisasi ini, otomatis pelajar atau remaja
mendapat
pembelajaran hidup bermasyarakat. Di kalangan pesantren yang masih menekankan sami`na wa atho’na, pendidikan
berorganisasi dan berdemokrasi masih sangat minim. Tentunya tidakdemikian
dengan Pesantren API Tegalrejo atau pesantren lain yang moderat. Karenanya, sangat
penting melatih diri dan mengarahkan remaja berorganisasi untuk menyalurkan
potensi
dan
bakat-bakat “liar” remaja dalam arti positif.
Bagaimana idealisme gerakan muda jika dihadapkan pada urusan
perut?
ER:
Ini selalu menimbulkan kegagapan. Selama ini, teman-teman aktivis selalu
menekankan pada kesepakatan-kesepakatan komunitas dan mengesampingkan urusan
keluarga, bahkan
pribadinya.
Ini koreksi bagi kita yang keasyikan mengabdi pada masyarakat; bahwa urusan
perut itu hajat pokok yang harus terselesaikan lebih dulu. Secara pribadi,
persoalan ini menjadi momok. Namun kita harus selalu optimis. Ada jaminan
Tuhan, kalau kita mengurusi orang lain, Tuhan akan mengurus kita. NF: Betul!
Tuhan akan selalu mengurus orang-orang yang ikhlas mengurus orang lain. Namun
kesadaran bahwa rizki diatur Tuhan, ini harus disertai usaha sungguh-sungguh
dan manajerial yang proporsional dan profesional, sehingga seimbang antara
kepentingan
pribadi dan kewajiban berbagi. Sebisa mungkin hindari apapun yang bermakna
coba-coba. Lakukan yang jelas ada manfaatnya. Bergabunglah dalam organisasi untuk
menyalurkan hobi dan bakat secara positif.
ER: Sebatas pengingat, kita harus
bisa mempertanggungjawabkan amanah Tuhan melalui kegiatan positif. Jangan
sampai tersaruk pada penyimpangan dan kenakalan yang merugikan kita sekarang
dan di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar